Di Rumah Sakit Ini, Ribuan Korban Perang dari Wilayah Timur Tengah Mendapat Perawatan Medis dan Psikologis
Titik Terakhir Harapan
Sebuah rumah sakit sederhana namun penuh aktivitas terletak di kawasan perbatasan antara negara Timur Tengah yang dilanda konflik. Dikenal sebagai Rumah Sakit Al-Hayat, tempat ini telah menjadi pusat rujukan darurat bagi ribuan korban perang yang datang dari Suriah, Palestina, Irak, dan Yaman. Di tengah keterbatasan fasilitas dan tekanan luar biasa, rumah sakit ini menjadi titik terang bagi mereka yang selamat dari mimpi buruk perang, tetapi harus melanjutkan hidup dengan luka fisik dan batin.
Bukan hanya luka akibat ledakan atau peluru, pasien-pasien di sini membawa luka psikologis yang dalam. Mereka adalah saksi dari kekerasan ekstrem, kehilangan orang yang dicintai, dan kehancuran tempat tinggal mereka. Rumah Sakit Al-Hayat tidak hanya menjadi tempat penyembuhan tubuh, tetapi juga tempat memulihkan harapan dan martabat kemanusiaan.
Suasana Rumah Sakit: Di Antara Kehidupan dan Kematian
Setiap pagi, antrean panjang memenuhi pintu rumah sakit. Para pasien datang dari berbagai kota dan kamp pengungsian, beberapa dibawa oleh ambulans LSM internasional, lainnya oleh keluarga dengan kendaraan seadanya. Di ruang gawat darurat, dokter dan perawat bekerja siang malam tanpa henti. Mereka menghadapi luka bakar, amputasi, trauma kepala, hingga komplikasi kesehatan kronis yang tak sempat ditangani selama masa perang.
Salah satu dokter, Dr. Kamal, yang telah bekerja selama lima tahun di rumah sakit ini, mengaku bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada sisi medis, tetapi pada trauma psikologis yang mendalam. “Kami bisa menjahit luka, memberi obat, atau melakukan operasi. Tapi bagaimana mengobati seorang anak yang kehilangan seluruh keluarganya dalam serangan udara?” ujarnya lirih.
Bahkan ruang anak-anak tidak luput dari kesedihan. Di sana, anak-anak kecil dengan perban di kepala, lengan patah, atau luka bakar berat duduk bersama, sebagian menangis, sebagian hanya diam terpaku. Namun, rumah sakit juga berusaha menciptakan ruang yang ramah anak: dinding penuh lukisan warna-warni, boneka, dan relawan yang mencoba membuat mereka tertawa.
Layanan Psikologis: Mengobati Luka yang Tak Terlihat
Di lantai dua rumah sakit, terdapat ruang terapi khusus untuk perawatan psikologis. Psikolog, terapis seni, dan konselor trauma bekerja dengan pasien dari berbagai usia. Mereka memberikan sesi terapi individu maupun kelompok, berusaha membuka komunikasi dan meringankan beban emosional yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Fatima, seorang terapis berusia 32 tahun, menceritakan betapa sulitnya membuat para penyintas perang berbicara. “Banyak dari mereka mengalami ‘keheningan trauma’. Mereka bahkan tidak bisa menangis. Terutama anak-anak. Kita harus sangat sabar dan lembut,” katanya.
Dalam sesi terapi seni, anak-anak diminta menggambar. Sebagian menggambar rumah yang terbakar, pesawat tempur, atau anggota keluarga yang sudah tiada. Tapi beberapa juga menggambar pohon, bunga, dan matahari—tanda bahwa harapan belum sepenuhnya mati.
Program kesehatan mental ini juga merangkul para ibu, istri, dan lansia yang telah menyaksikan horor perang. Mereka diberi ruang untuk berbicara, menangis, dan didengar. Di antara tangis, muncul juga kisah kekuatan dan ketegaran yang luar biasa.
Kisah Para Pasien: Dari Luka Fisik ke Pemulihan Jiwa
Setiap sudut rumah sakit menyimpan kisah yang menggetarkan hati.
Ammar, bocah 10 tahun dari Aleppo, datang dengan kaki kanan yang hancur akibat ledakan ranjau darat. Ia kini menggunakan kaki palsu, namun yang paling sulit adalah ketakutan yang terus menghantuinya setiap kali mendengar suara keras. “Dia tidak mau tidur sendiri. Dia selalu minta ibunya duduk di samping,” ujar salah satu perawat yang merawatnya.
Rania, seorang wanita muda dari Gaza, kehilangan suami dan dua anaknya dalam serangan udara. Ia sendiri mengalami luka parah di perut dan harus menjalani beberapa kali operasi. Tapi luka batinnya lebih dalam. Ia menghabiskan minggu-minggu pertama di rumah sakit tanpa berbicara sepatah kata pun. Kini, dengan bantuan terapis, ia mulai membuka diri, dan bahkan membantu pasien lain sebagai sukarelawan.
Hassan, seorang mantan guru dari Mosul, kehilangan penglihatan setelah terkena pecahan bom. Di rumah sakit ini, ia belajar membaca Braille dan menjadi motivator bagi pasien tuna netra lain. “Saya kehilangan mata saya, tapi tidak kehilangan keinginan untuk hidup,” katanya sambil tersenyum.
Tim Medis Internasional: Solidaritas Tanpa Batas
Rumah Sakit Al-Hayat beroperasi berkat kolaborasi antara tim lokal dan dokter sukarelawan dari berbagai negara. Mereka datang dari Jerman, Turki, Prancis, dan Indonesia, membawa keahlian dan semangat kemanusiaan yang kuat.
Dr. Helena, seorang ahli bedah tulang dari Swedia, mengatakan bahwa meski ia jauh dari rumah dan bekerja dalam tekanan tinggi, ia merasa inilah tempat di mana ilmu dan hati nuraninya benar-benar dibutuhkan. “Ini bukan soal karier. Ini soal menyelamatkan hidup manusia dalam situasi yang paling kelam,” ujarnya.
Sementara itu, para perawat lokal menjadi jembatan penting antara pasien dan tim medis asing. Mereka tidak hanya merawat luka, tapi juga memberikan pelukan, kata-kata penghiburan, dan menghadirkan sisi kemanusiaan di tengah prosedur klinis yang dingin.
Keterbatasan Fasilitas: Antara Kebutuhan dan Kenyataan
Meski menjadi tempat penyelamat bagi banyak orang, Rumah Sakit Al-Hayat jauh dari kata ideal. Persediaan obat sering kali habis, mesin-mesin medis terbatas, dan ruang rawat tak mencukupi jumlah pasien. Di musim dingin, pemanas tidak selalu tersedia, dan di musim panas, suhu mencapai lebih dari 40 derajat tanpa cukup AC.
Sementara itu, tekanan terus datang dari jumlah pasien yang tak pernah surut. Dalam sepekan, rata-rata lebih dari 300 pasien datang, baik untuk luka akut maupun perawatan lanjutan. Beberapa terpaksa tidur di lorong, di atas kasur darurat atau selimut yang disumbangkan oleh relawan.
Meski begitu, semangat tak pernah padam. Setiap hari, tim rumah sakit berjuang untuk memberikan layanan terbaik dengan apa yang mereka miliki. Mereka percaya bahwa setiap nyawa berharga, dan setiap pasien layak mendapatkan perawatan yang manusiawi.
Harapan dan Masa Depan
Dalam kondisi seburuk apapun, rumah sakit ini tetap menjadi simbol harapan. Banyak pasien yang pulih dan kembali ke masyarakat. Beberapa bahkan bergabung sebagai staf sukarelawan. Anak-anak yang sebelumnya tak mampu berbicara kini bermain dan bercanda dengan relawan. Kaum ibu yang dulu hanya menangis kini tersenyum, walau masih samar.
Direktur rumah sakit, Dr. Nabil Hassan, mengatakan bahwa misi utama mereka adalah menjaga martabat manusia. “Kami tidak bisa menghentikan perang, tapi kami bisa memastikan bahwa korban perang tidak dibiarkan terluka sendirian,” ujarnya.
Ke depan, rumah sakit berencana memperluas layanan psikologis dan membangun pusat rehabilitasi fisik permanen. Mereka juga berharap ada lebih banyak dukungan dari komunitas internasional agar bisa terus bertahan di tengah krisis kemanusiaan yang tak kunjung usai.
Kesimpulan: Tempat yang Menyembuhkan Lebih dari Sekadar Luka
Rumah Sakit Al-Hayat tidak hanya menyembuhkan luka fisik akibat perang, tetapi juga menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Di tempat ini, orang-orang yang kehilangan segalanya diberi kesempatan untuk memulai kembali. Di balik setiap operasi dan sesi terapi, tersimpan keyakinan bahwa kemanusiaan masih hidup di tengah kehancuran.
Bagi ribuan korban perang dari Timur Tengah, rumah sakit ini bukan hanya fasilitas medis, tetapi rumah sementara di tengah kehilangan, tempat untuk menyembuhkan jiwa yang hancur, dan jendela kecil menuju harapan.
Baca Juga : HUAWEI WATCH FIT 4 Series: Smartwatch Ramping nan Powerful Bakal Rilis di Indonesia